Intelektulitas yang menjadi cirri khas mahasiswa memang mengalami
sebuah perkembangan. Bahkan apabila kita membahas tentang apapun yang
berhubungan dengan mahasiswa maka kita tidak akan jauh dari kata kritis,
rasionalis, argumentative, dan intelektualis. Seolah-olah tidak terlalu
berlebihan kiranya, apabila sifat-sifat tersebut menjadi “sifat wajib bagi
mahasiswa”. Namun mahasiswa yang notabenenya pemuda yang kritis dan
intelektualis sering sekali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang justru menjadi
urgensi sosialistik dari pendidikan yang diembannya kurang lebih selama
setengah decade. Kita bisa mengambil contoh kasus yang dilakukan oleh mahasiswa
asal mkasar yang berinisial S H dengan aksinya membakar diri di depan istana
merdeka, serta demo anarkis mahasiswa makasar pada hari anti korupsi sedunia
yang ganas dan gelap mata dengan menghajar dan menghancurkan simbol-simbol
Negara seperti polisi, pos polisi, mobil plat merah, bahkan mobil pemadam
kebakaran. Mungkin aksinya tersebut bisa dibilang kritis terhadap tragedy yang
terjadi di negri ini, tapi apakah hal itu rasionalis ? apakah seperti itu yang
disebut intelektualis? Saya kira merupakan kekeliruan besar apabila jawabannya
adalah “iya”.
Sebenarnya dari
contoh kejadian diatas sudah cukup menjadi bukti bahwa moral generasi mudah
bangsa ini telah mengalami dekadensi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma
kebebasan demokrasi dan sosial politik tanpa adanya karakteristik positif yang
melekat pada diri kalamgam intelektual negri ini.
Untuk itu perlu
adanya penyeimbang yang nantinya mampu menjadi ”balance” antara intelektual
dan moral. Bahkan menurut menteri agama
RI, Suryadharma Ali, pendidikan pesantren bisa jadi penyeimbang intelektual dan
moral. Dan menurut saya sah-sah saja apabila Menteri Agama RI, Suryadharma Ali
berpendapat demikian, karna pendidikan pesantren memang berperan penting dalam
pembentukan karakter yang kuat bagi setiap santrinya. Berbagai akses negative
dari perkembangan teknologi dan komunikasi juga mampu ditepis oleh karakter
yang kuat berbasis pesantren. Banyak sekali kasus mahasiswa melawan dosen,
murid melawan guru, namun hampir tidak pernah kita dengar santri melawan ustadz
apalagi santri melawan kiyainya.
Dalam
implementasinya pendidikan model pesantren kini menjadi prioritas penbenahan di
perguruan-perguruan tinggi agama Isla terutama yang sudah berstatus
universitas. Hamper seluruh Universitas Islam Negeri (UIN) atau Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) mencanangkan pembenahan sekaligus penyeimbang ini dengan
tajuk “Ma’had Al-Jami’ah”, sepeti yang terdapat di IAIN Sunan Ampel Surabaya,
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan
perguruan-perguruan tinggi yang lain.
Dalam membentuk
karakter yang kuat memang system pendidikan pesantren adalah metode paling
efektif dan terbukti mampu banyak berbicara dalam hal ini. Namun kita juga
sering mendengar tudingan-tudingan berbau meremehkan sebuah perguruan tinggi yang berada di bawah
naungan yayasan pondok pesantren. Misalnya saja Mahasantri (Mahasiswa sekaligus
Santri) Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Gresik. Banyak sekali yang
mengatakan mahasiswa INKAFA kurang intelektual, kurang kritis, dan lain
sebagainya. Saya pribadi tidak sepenuhnya menyalahkan pihak manapun yang
mengatakan hal tersebut, namun saya lebih memilih mengatakan bahwa pandangan
tersebut hanya dilihat dari satu sisi intelektualitas saja. Jika mereka mau
melihat dari perspektif moriil (moralitas) maka tentunya tudingan yang
dilontarkan akan berbeda.
Pada dasarnya
memang moralitas harus lebih diutamakan sebelum intelektualitas. Butuh waktu
yang lama untuk membangun sebuah karakter positif yang kuat, namun intelektual
bisa dibangun dalam waktu yang lebih cepat. Saya mengibaratkan moralitas adalah
pondasi sedangkan intelektualitas adalah bangunannya. Keduanya melekat pada
setiap individu mahasiswa tidak terkecuali mahasantri. Moralitas tanpa
intelektualitas membuat mahasiswa kurang kritis, dinamis, dan argumentative. Sebaliknya
intelektualitas tanpa moralitas membuat mahasiswa mudah mengarah pada individu
yang egois dan anarkis.
Jawaban atas semua
itu sudah dikemas rapi dalam pendidikan model pesantren yang kini mulai menjadi
kiblat pendidikan yang akan diterapkan Bumi Pertiwi. Kalau ada yang mengatakan
pendidikan pesantren itu kolot, tidak modern, bahkan tidak intelek karna masih
menggunakan kitab-kitab salaf, itu semua salah. Syekh Az-Zarnuji menawarkan
sebuah metode pembelajaran yang luar biasa dalam kitabnya Ta’lim Muta’allim
yang belakangan dituding oleh para pemikir sok modern sudah tidak relevan
diterapkan di zaman ini. Dalam kitabnya beliau mengatakan :
Dari ibarat diatas
jelas para mahasantri memiliki konsep metode pembelajaran yang unggul dan
mengarah pada in telektualitas yang tinggi. Para mahasantri punya moralitas dan
konseptualitas, tinggal p[erlu adanya kerja keras berupa kesungguhan dan
keuletan dari individu mhasantri sendiri. Dan bukanlah suatu omong kosong
apabila pesantren digadang-gadang akan mampu menjawab problematika bangsa.
Alibinya sudah jelas tinggal kita yang harus mewujudkannya.
Aku, kamu, dia,
dan mereka, ya kita semua para mahasantri adalah calon kader-kader bangsa.
Harapan bangsa ada di tangan kita. Untuk memperbaiki bangsa yang besar ini kita
harus memperbaiki diri yang kecil ini. Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari
yang kecil, dan dimulai dari sekarang. Kita para mahasantri kita punya dasar,
kita punya tujuan, kita punya semangat, mari kita hidup dan membuka mata! Mari
kita cintai bangsa dan Negara, mari kita bentengi Negara dengan iman dan taqwa.
Karna musuh terbesar bukan dari luar tapi dalam diri kita sendiri. INDONESIA
yakin bisa!!!!!
By : CUN_ay
0 komentar:
Posting Komentar