Minggu, 23 September 2012

Intelektualitas Pesantren “Mahasantri: Kami lebih dari Mahasiswa!”

Posted by Unknown On 06.29 0 komentar


             Intelektulitas yang menjadi cirri khas mahasiswa memang mengalami sebuah perkembangan. Bahkan apabila kita membahas tentang apapun yang berhubungan dengan mahasiswa maka kita tidak akan jauh dari kata kritis, rasionalis, argumentative, dan intelektualis. Seolah-olah tidak terlalu berlebihan kiranya, apabila sifat-sifat tersebut menjadi “sifat wajib bagi mahasiswa”. Namun mahasiswa yang notabenenya pemuda yang kritis dan intelektualis sering sekali mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang justru menjadi urgensi sosialistik dari pendidikan yang diembannya kurang lebih selama setengah decade. Kita bisa mengambil contoh kasus yang dilakukan oleh mahasiswa asal mkasar yang berinisial S H dengan aksinya membakar diri di depan istana merdeka, serta demo anarkis mahasiswa makasar pada hari anti korupsi sedunia yang ganas dan gelap mata dengan menghajar dan menghancurkan simbol-simbol Negara seperti polisi, pos polisi, mobil plat merah, bahkan mobil pemadam kebakaran. Mungkin aksinya tersebut bisa dibilang kritis terhadap tragedy yang terjadi di negri ini, tapi apakah hal itu rasionalis ? apakah seperti itu yang disebut intelektualis? Saya kira merupakan kekeliruan besar apabila jawabannya adalah “iya”.
            Sebenarnya dari contoh kejadian diatas sudah cukup menjadi bukti bahwa moral generasi mudah bangsa ini telah mengalami dekadensi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma kebebasan demokrasi dan sosial politik tanpa adanya karakteristik positif yang melekat pada diri kalamgam intelektual negri ini.
            Untuk itu perlu adanya penyeimbang yang nantinya mampu menjadi ”balance” antara intelektual dan  moral. Bahkan menurut menteri agama RI, Suryadharma Ali, pendidikan pesantren bisa jadi penyeimbang intelektual dan moral. Dan menurut saya sah-sah saja apabila Menteri Agama RI, Suryadharma Ali berpendapat demikian, karna pendidikan pesantren memang berperan penting dalam pembentukan karakter yang kuat bagi setiap santrinya. Berbagai akses negative dari perkembangan teknologi dan komunikasi juga mampu ditepis oleh karakter yang kuat berbasis pesantren. Banyak sekali kasus mahasiswa melawan dosen, murid melawan guru, namun hampir tidak pernah kita dengar santri melawan ustadz apalagi santri melawan kiyainya.
            Dalam implementasinya pendidikan model pesantren kini menjadi prioritas penbenahan di perguruan-perguruan tinggi agama Isla terutama yang sudah berstatus universitas. Hamper seluruh Universitas Islam Negeri (UIN) atau Institut Agama Islam Negeri (IAIN) mencanangkan pembenahan sekaligus penyeimbang ini dengan tajuk “Ma’had Al-Jami’ah”, sepeti yang terdapat di IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan perguruan-perguruan tinggi yang lain.
            Dalam membentuk karakter yang kuat memang system pendidikan pesantren adalah metode paling efektif dan terbukti mampu banyak berbicara dalam hal ini. Namun kita juga sering mendengar tudingan-tudingan berbau meremehkan  sebuah perguruan tinggi yang berada di bawah naungan yayasan pondok pesantren. Misalnya saja Mahasantri (Mahasiswa sekaligus Santri) Institut Keislaman Abdullah Faqih (INKAFA) Gresik. Banyak sekali yang mengatakan mahasiswa INKAFA kurang intelektual, kurang kritis, dan lain sebagainya. Saya pribadi tidak sepenuhnya menyalahkan pihak manapun yang mengatakan hal tersebut, namun saya lebih memilih mengatakan bahwa pandangan tersebut hanya dilihat dari satu sisi intelektualitas saja. Jika mereka mau melihat dari perspektif moriil (moralitas) maka tentunya tudingan yang dilontarkan akan berbeda.
            Pada dasarnya memang moralitas harus lebih diutamakan sebelum intelektualitas. Butuh waktu yang lama untuk membangun sebuah karakter positif yang kuat, namun intelektual bisa dibangun dalam waktu yang lebih cepat. Saya mengibaratkan moralitas adalah pondasi sedangkan intelektualitas adalah bangunannya. Keduanya melekat pada setiap individu mahasiswa tidak terkecuali mahasantri. Moralitas tanpa intelektualitas membuat mahasiswa kurang kritis, dinamis, dan argumentative. Sebaliknya intelektualitas tanpa moralitas membuat mahasiswa mudah mengarah pada individu yang egois dan anarkis.
            Jawaban atas semua itu sudah dikemas rapi dalam pendidikan model pesantren yang kini mulai menjadi kiblat pendidikan yang akan diterapkan Bumi Pertiwi. Kalau ada yang mengatakan pendidikan pesantren itu kolot, tidak modern, bahkan tidak intelek karna masih menggunakan kitab-kitab salaf, itu semua salah. Syekh Az-Zarnuji menawarkan sebuah metode pembelajaran yang luar biasa dalam kitabnya Ta’lim Muta’allim yang belakangan dituding oleh para pemikir sok modern sudah tidak relevan diterapkan di zaman ini. Dalam kitabnya beliau mengatakan :

            Dari ibarat diatas jelas para mahasantri memiliki konsep metode pembelajaran yang unggul dan mengarah pada in telektualitas yang tinggi. Para mahasantri punya moralitas dan konseptualitas, tinggal p[erlu adanya kerja keras berupa kesungguhan dan keuletan dari individu mhasantri sendiri. Dan bukanlah suatu omong kosong apabila pesantren digadang-gadang akan mampu menjawab problematika bangsa. Alibinya sudah jelas tinggal kita yang harus mewujudkannya.
            Aku, kamu, dia, dan mereka, ya kita semua para mahasantri adalah calon kader-kader bangsa. Harapan bangsa ada di tangan kita. Untuk memperbaiki bangsa yang besar ini kita harus memperbaiki diri yang kecil ini. Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari yang kecil, dan dimulai dari sekarang. Kita para mahasantri kita punya dasar, kita punya tujuan, kita punya semangat, mari kita hidup dan membuka mata! Mari kita cintai bangsa dan Negara, mari kita bentengi Negara dengan iman dan taqwa. Karna musuh terbesar bukan dari luar tapi dalam diri kita sendiri. INDONESIA yakin bisa!!!!!
 By : CUN_ay

0 komentar:

Posting Komentar