Minggu, 30 Desember 2012

Posted by Unknown On 04.22 0 komentar

Menyemai Kultur Good Goverment Lewat Pendidikan


Cita-cita pendidikan adalah mewujudkan manusia menjadi beradab dan berbudi luhur, manusia yang berperasaan dalam dan menghargai hakikat manusia lainnya sebagai sesama yang harus dicintai. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas perantaraan dunia di sekitar mereka. Sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran sosial, maka perlu adanya perangkat analisis yang bersumber dari kebebasan berfikir dari masing-masing individu, yang pada akhirnya memberikan daya nalar yang kritis terhadap perkembangan sosial yang ada.
            Secara prinsipil untuk membangun budaya yang baik dalam pemerintahan, perlu dikembangkan pokok-pokok dasar dalam pendidikan. Pertama, prinsip cinta kasih sebagai basis dari dialog. Kedua, kerendahan hati. Dalam suasana dialog, tidak ada tempat untuk arogansi, merasa berhak menggurui, merasa diri elit dan lebih dari komunitas yang ada, unggul dalam kebersamaan orang. Ketiga, percaya kepada sesama manusia. Keempat, menanamkan jiwa keteladanan. Kelima, mengembangkan prinsip kejujuran. Kelima hal inilah yang sedikit banyaknya bisa berpengaruh terhadap penataan sebuah sistem dan struktur masyarakat yang baik yang bertumpu pada moralitas. 
            Model pendidikan yang mengarah pada moralitas dan etika, disamping efektif untuk kemandirian berfikir juga sangat potensial dalam membangun sikap diri yang penuh keteladanan dan pencerahan akal bagi masyarakat. Dampak secara luas dari model pendidikan yang bertumpu pada ahlakul karimah  ini akan menumbuhkan Learning society (masyarakat belajar) dan educational society (masyarkat terdidik, baik secara jasmani maupun rohani). Learning society adalah model masyarakat yang selalu siap belajar untuk menjawab kebutuhan sendiri. Mereka tidak terlalu tergantung oleh fasilitas atau ruang yang diberikan oleh negara.
            Dalam pendidikan hendaknya yang lebih ditekankan adalah transformasi perilaku, transformasi etika, transformasi moralitas, bukan transformasi gaya berfikir. Dengan demikian konsep pendidikan sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang lebih luas ketimbang sekedar pengajaran. Karena ada kecenderungan yang memprihatinkan dewasa ini, dimana sistem pendidikan kita semakin lama semakin menjauhi subtansi tujuan pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan memang marak ada dimana-mana, namun mereka jarang membawa misi pendidikan yang sebenarnya. Padahal landasan dasar yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai etika dan moral terhadap anak didik, sehingga ketika mereka sudah menjadi bagian masyarakat yang mandiri akan mampu mengembangkan potensi-potensi positif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sebuah tata pemerintahan yang baik dimulai dari masyarakat yang terdidik secara jasmani maupun rohani.
            Dengan demikian, untuk membangun sebuah sistem dan tata pemerintahan yang baik, harus dimulai dari masyarakat terpelajar dan terdidik serta mengedepankan nilai-nilai moralitas. Karena tanpa bertumpu pada paradigma kritis-transformatif dan mengabaikan nilai-nilai moralitas tersebut, mustahil sebuah pemerintahan yang bersih (tidak korup) akan terwujud. Di sinilah peran masyarakat terdidik menjadi sangat signifikan dalam mengusung transformasi sosial di dalam ikut serta menata sistem pemerintahan yang baik, bermartabat dan berwibawa. Dan untuk menciptakan masyarakat-masyarakat terdidik dan terpelajar, peran lembaga-lembaga pendidikan –baik formal maupun non formal- menjadi elan vital bagi terwujudnya masyarakat mandiri, disiplin dan berwibawa di mata bangsa lain.   

Posted by Unknown On 04.18 0 komentar

Desentralisasi Kurikulum dan Otonomi Pendidikan


       Menurut ahli pendidikan, kurikulum lebih dari sekadar text-book, lebih dari subject-matter, lebih dari rangkaian pelajaran, bahkan lebih dari sekadar pelajaran kursus. Kata Brown, kurikulum merupakan situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah dalam arus yang tidak putus-putusnya dari anak-anak dan pemuda melalui pintu sekolah. Kurikulum berarti situasi dan kondisi yang ada dalam proses belajar untuk mengubah sikap anak. Dari definisi ini berarti bahwa situasi itu diarahkan atau dipimpin pada pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Termasuk di dalam kurikulum adalah subject-matter, metode, organisasi sekolah dan organisasi kelas, serta pengukuran proses belajar.
            Kata Brown lagi, ada tiga prinsip sosiologis dalam memandang kurikulum secara keseluruhan, yakni:
  1. Perubahan kurikulum bersifat gradual, mencerminkan nilai-nilai dasar-kultural dari sebuah masyarakat, dan pada saat yang sama menunjukkan pekerjaan yang efektif dalam pengarahan nilai-nilai yang paling tinggi.
  2. Kurikulum di sekolah berfungsi dalam hubungan dengan orang dewasa, dan serempak dengan itu, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
  3. Kurikulum pasti terus menerus berubah menuju suatu bentuk yang efektif dari tujuan sosial yang telah ditentukan.
Kurikulum haruslah bersifat fleksibel dan elastis, sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi anak didik di tempat tertentu. Elastisitas kurikulum ini tentu saja disesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Tujuan spesifik dari kurikulum adalah menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berpikir sederhana, dan mengikis prasangka dalam memberikan pertimbangan nilai (value judgments). Juga, untuk membantu mencapai kematangan pribadi anak-anak; membantu murid-murid supaya berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat sekolahnya; membantu anak-anak didik agar menyadari kepentingan masyarakat dan menghayati masyarakatnya sendiri; mengembangkan kemampuan intelektual anak didik sehingga bisa memahami kompleksitas lingkungan sosial dan peradabannya; serta menanamkan nilai, sikap, dan kemampuan untuk belajar.
            Selama penguasa Orde Baru, hingga kini penulis kira, kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia lebih banyak didominasi oleh keputusan dari atas ke bawah (top down). Kita lihat, sikap penguasa yang ingin menanamkan ideologinya melalui institusi pendidikan dengan dalih stabilitas keamanan. Inilah yang kita sebut bahwa sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai tindakan yang tidak demokratis. Karena itulah, pengembangan dan perubahan kurikulum yang sudah tidak aspiratif dan tidak akomodatif sangat perlu dewasa ini.
            Wacana desentralisasi kurikulum bukan hal baru, dan sudah lama diperdebatkan sebagai respons atas kegagalan sentralisasi kurikulum. Ini merupakan realisasi otonomi pendidikan di Indonesia. Pengembangan kurikulum berdasarkan semangat desentralisasi ini diharapkan akan semakin menyegarkan angin demokrasi negara ini.
            Mengutip contoh Ivan A. Hadar dalam tulisannya, "Pendidikan untuk Perdamaian" (Kompas, 26/01/04), perubahan kurikulum selain memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, idealnya mempromosikan toleransi, demokrasi, dan penghargaan terhadap HAM. Bagi Indonesia yang banyak dilanda konflik, pemuatan nilai-nilai itu dalam kurikulum pendidikan bagi generasi muda adalah sebuah kebutuhan dasar. Maksudnya adalah kurikulum berbasis perdamaian.
            Memang mulai tahun 2004, semua institusi pendidikan formal di Indonesia harus sudah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) untuk menggantikan kurikulum 1994 yang sudah usang. Dasar pemikiran yang dipakai untuk mengganti kurikulum adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta perkembangan ilmu dan teknologi agar lembaga pendidikan mampu menyiapkan peserta didik supaya mampu bersaing menghadapi tantangan hidup yang kompleks. Maksudnya, kompetensi dan keahlian bertahan hidup dalam menghadapi berbagai perubahan.
            Memang, kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum. Tahun 1968 diganti kurikulum 1975, lalu kurikulum CBSA, dan digantikan oleh kurikulum 1994 serta diganti lagi dengan KBK, selanjutnya lagi akan diganti dengan kurikulum lain. Namun sayangnya, dari pergantian tersebut, tidak dijelaskan evaluasi terhadap tiap-tiap kurikulum itu, sehingga kita melihatnya sebagai suatu kebijakan yang terasa nuansa politisnya.
            Betapapun demikian, kita harus meletakkan semangat dasarnya, bahwa desentralisasi kurikulum memiliki makna signifikan bagi pengembangan demokrasi. Hanya saja, arah perencanaan perubahan kurikulum itu harus ditata sebaik mungkin untuk menghindari agar kebijakan ini tidak hanya merupakan selera penguasa yang akan berubah manakala ia sudah turun takhta. Jadi, perubahan ini harus menyentuh aspek jangka panjangnya.