Menurut ahli pendidikan, kurikulum lebih dari
sekadar text-book, lebih dari subject-matter, lebih dari
rangkaian pelajaran, bahkan lebih dari sekadar pelajaran kursus. Kata Brown,
kurikulum merupakan situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus
sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah dalam arus yang
tidak putus-putusnya dari anak-anak dan pemuda melalui pintu sekolah. Kurikulum
berarti situasi dan kondisi yang ada dalam proses belajar untuk mengubah sikap
anak. Dari definisi ini berarti bahwa situasi itu diarahkan atau dipimpin pada
pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Termasuk di dalam kurikulum adalah subject-matter,
metode, organisasi sekolah dan organisasi kelas, serta pengukuran proses
belajar.
Kata
Brown lagi, ada tiga prinsip sosiologis dalam memandang kurikulum secara
keseluruhan, yakni:
- Perubahan kurikulum bersifat gradual, mencerminkan nilai-nilai dasar-kultural dari sebuah masyarakat, dan pada saat yang sama menunjukkan pekerjaan yang efektif dalam pengarahan nilai-nilai yang paling tinggi.
- Kurikulum di sekolah berfungsi dalam hubungan dengan orang dewasa, dan serempak dengan itu, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
- Kurikulum pasti terus menerus berubah menuju suatu bentuk yang efektif dari tujuan sosial yang telah ditentukan.
Kurikulum haruslah bersifat fleksibel
dan elastis, sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang
penting dan perlu bagi anak didik di tempat tertentu. Elastisitas kurikulum ini
tentu saja disesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Tujuan spesifik
dari kurikulum adalah menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berpikir
sederhana, dan mengikis prasangka dalam memberikan pertimbangan nilai (value
judgments). Juga, untuk membantu mencapai kematangan pribadi anak-anak;
membantu murid-murid supaya berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat sekolahnya;
membantu anak-anak didik agar menyadari kepentingan masyarakat dan menghayati
masyarakatnya sendiri; mengembangkan kemampuan intelektual anak didik sehingga
bisa memahami kompleksitas lingkungan sosial dan peradabannya; serta menanamkan
nilai, sikap, dan kemampuan untuk belajar.
Selama
penguasa Orde Baru, hingga kini penulis kira, kurikulum pendidikan yang ada di
Indonesia lebih banyak didominasi oleh keputusan dari atas ke bawah (top
down). Kita lihat, sikap penguasa yang ingin menanamkan ideologinya melalui
institusi pendidikan dengan dalih stabilitas keamanan. Inilah yang kita sebut
bahwa sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai tindakan yang tidak
demokratis. Karena itulah, pengembangan dan perubahan kurikulum yang sudah
tidak aspiratif dan tidak akomodatif sangat perlu dewasa ini.
Wacana
desentralisasi kurikulum bukan hal baru, dan sudah lama diperdebatkan sebagai
respons atas kegagalan sentralisasi kurikulum. Ini merupakan realisasi otonomi
pendidikan di Indonesia. Pengembangan kurikulum berdasarkan semangat
desentralisasi ini diharapkan akan semakin menyegarkan angin demokrasi negara
ini.
Mengutip
contoh Ivan A. Hadar dalam tulisannya, "Pendidikan untuk Perdamaian"
(Kompas, 26/01/04), perubahan kurikulum selain memberi penekanan pada
penguatan daya nalar dan analisis, idealnya mempromosikan toleransi, demokrasi,
dan penghargaan terhadap HAM. Bagi Indonesia yang banyak dilanda konflik,
pemuatan nilai-nilai itu dalam kurikulum pendidikan bagi generasi muda adalah
sebuah kebutuhan dasar. Maksudnya adalah kurikulum berbasis perdamaian.
Memang
mulai tahun 2004, semua institusi pendidikan formal di Indonesia harus sudah
menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) untuk menggantikan kurikulum
1994 yang sudah usang. Dasar pemikiran yang dipakai untuk mengganti kurikulum
adalah untuk menyesuaikan dengan perubahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara serta perkembangan ilmu dan teknologi agar lembaga pendidikan mampu
menyiapkan peserta didik supaya mampu bersaing menghadapi tantangan hidup yang
kompleks. Maksudnya, kompetensi dan keahlian bertahan hidup dalam menghadapi
berbagai perubahan.
Memang,
kita telah mengalami beberapa kali pergantian kurikulum. Tahun 1968 diganti
kurikulum 1975, lalu kurikulum CBSA, dan digantikan oleh kurikulum 1994 serta
diganti lagi dengan KBK, selanjutnya lagi akan diganti dengan kurikulum lain.
Namun sayangnya, dari pergantian tersebut, tidak dijelaskan evaluasi terhadap
tiap-tiap kurikulum itu, sehingga kita melihatnya sebagai suatu kebijakan yang
terasa nuansa politisnya.
Betapapun
demikian, kita harus meletakkan semangat dasarnya, bahwa desentralisasi
kurikulum memiliki makna signifikan bagi pengembangan demokrasi. Hanya saja,
arah perencanaan perubahan kurikulum itu harus ditata sebaik mungkin untuk
menghindari agar kebijakan ini tidak hanya merupakan selera penguasa yang akan
berubah manakala ia sudah turun takhta. Jadi, perubahan ini harus menyentuh
aspek jangka panjangnya.
0 komentar:
Posting Komentar